1. Pesawat N-2130
N-2130 adalah tipe pesawat jet yang
hendak dikembangkan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada
masa jaya perusahaan tersebut di pertengahan 1990-an. Pengembangan
pesawat jet komuter dengan jumlah penumpang antara 80–130 orang itu
mungkin terinspirasi pesawat yang dikembangkan perusahaan pesawat
terbang Brasil,Embraer. Bedanya, Embraer sekarang ini menghasilkan
pesawat Embraer Regional Jet (ERJ) yang banyak digunakan perusahaan
penerbangan Amerika Serikat (AS), terutama untuk shuttle flight pada
jalur-jalur padat Boston, New York, Washington DC, dan Miami.Adapun
N-2130 ternyata hanya menjadi mimpi karena terkubur krisis moneter
1998. Sebagai rentetan krisis tersebut, pemerintah harus menghentikan
bantuan kepada IPTN sebagai bagian kesepakatan dengan Dana Moneter
Internasional (IMF). Hari ini, lebih dari 10 tahun sejak krisis moneter,
kita berada pada posisi yang jauh lebih baik dan siap untuk
menghidupkan kembali proyek tersebut.Ada
beberapa alasan kuat untuk itu. Pertama, Indonesia sudah berkembang
menjadi kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan. Dalam krisis global
baru-baru ini, Indonesia berhasil untuk tetap menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang moderat bersama China dan India. Perkembangan tersebut
membuat Indonesia masuk dalam radar perekonomian global.Ini
berarti apa yang diproduksi Indonesia mulai diperhitungkan perusahaan
penerbangan di luar negeri. Kedua, perkembangan tersebut juga memperkuat
daya beli rakyat dan dunia usaha Indonesia. Jika 12 tahun lalu hanya
Garuda dan Merpati yang menjadi perusahaan penerbangan nasional,
sekarang banyak perusahaan penerbangan yang mampu membeli pesawat dalam
jumlah besar.
Perkembangan
traffic dan jumlah penumpang pesawat terbang melonjak sehingga sangat
layak jika industri pembuat pesawat terbang akan kecipratan berkah di
tahun-tahun mendatang, menurut perkiraan Compliance Services Indonesia.
Ketiga, dalam keadaan terjepit pun PT IPTN, yang kini bermetamorfosis
menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI), mampu memasarkan produk ke
pelanggan di luar negeri. Korea Selatan sudah membeli beberapa pesawat
CN 235, termasuk empat di antaranya yang merupakan pesanan Departemen
Pertahanan Korea Selatan untuk patroli maritim.
Demikian
juga dengan Malaysia, Thailand,Pakistan,dan Turki. Korea Selatan,
Malaysia, dan Pakistan bahkan telah membeli pesawat jenis CN 235 untuk
digunakan sebagai pesawat kepresidenan. Keempat, PT DI pada 2009 mulai
berhasil mencetak laba. Perolehan pendapatan tersebut diperkirakan
semakin besar pada 2010 dengan adanya pesanan 10 helikopter untuk
Angkatan Udara dan Basarnas serta pesanan tiga pesawat CN 235–200 MPA
untuk menggantikan pesawat Nomad Angkatan Laut Indonesia.
Ini
membuktikan restrukturisasi perusahaan tersebut mulai berhasil dalam
meningkatkan efisiensi. Kelima, Indonesia sudah lulus dari program IMF.
Ini berarti Indonesia memiliki kebebasan penuh untuk mengembangkan
kembali cita-cita. Saya yang pernah bekerja di IMF selama lima tahun
sangat memahami bahwa tidak ada dari lembaga internasional tersebut yang
dapat mencegah kita melakukan hal tersebut.
Keenam,
kemampuan keuangan pemerintah.Keuangan pemerintah sekarang sangat kuat.
Kecilnya defisit APBN maupun rasio utang terhadap produk domestik bruto
(PDB) merupakan ukuran internasional yang menunjukkan kekuatan kita.
(Tulisan saya pekan lalu,“Utang Pemerintah dalam Perekonomian Global”,
menjelaskan hal tersebut). Sekarang ini pemerintah memiliki uang tunai
yang jumlahnya sekitar Rp200 triliun. Uang tersebut setiap kali justru
semakin bertambah dan bukannya berkurang.
Untuk
pengembangan N–2130, pemerintah perlu memastikan keekonomiannya dan
sangat mungkin memberikan bantuan. Terlebih lagi jika PT DI mampu
menunjukkan laba kembali dalam dua tahun ke depan, bukan hanya perbankan
yang akan berebut untuk memberikan pembiayaan, pasar modal pun akan
terbuka lebar untuk menerima penawaran saham perdana (IPO) PT DI.
Ketujuh, alasan idealisme.
Begitu
banyak tenaga ahli penerbangan Indonesia eks IPTN yang sekarang ini
berdiaspora di luar negeri. Mereka mampu mengembangkan keahliannya dan
diakui oleh raksasa industri penerbangan di Amerika, Eropa maupun
negara-negara lain, sedangkan kesempatan untuk mengembangkan industri di
Tanah Air sebetulnya juga terbuka lebar. Berdasarkan hal-hal tersebut,
yang daftarnya juga bisa di perpanjang, merupakan suatu kesia-siaan
membiarkan PT DI berjuang sendiri.
Sebagai
perusahaan, dengan keuntungan yang dihasilkan saat ini,mereka jelas
akan mampu berkembang. Namun kecepatan pertumbuhan mereka akan sangat
rendah tanpa ada keberpihakan pemerintah. Pemerintah dapat mulai
membantu PT DI dengan menghidupkan kembali pesawat N250 yang sudah
menghasilkan prototipe, bahkan sudah pula hadir dalamAir Show di Eropa
sebelum krisis moneter 1998.
Pesawat
yang sekelas dengan ATR 42 dan salah satu varian dari Embraer tersebut
memiliki potensi yang sangat besar bagi penggunaannya di Indonesia yang
memiliki banyak bandara berlandasan pendek. Seiring pengembangan N250,
riset dan pengembangan produk pesawat N-2130 mulai dapat diintensifkan.
Dengan
kerangka waktu lebih tertata, kita bisa mengharapkan bahwa dalam
tiga-empat tahun ke depan, kita sudah memiliki gambaran untuk melihat
prospek yang lebih jelas bagi pesawat tersebut. Visi 2025 pemerintah
jelas, yaitu menginginkan Indonesia menjadi negara maju di tahun
tersebut. Let’s just do it. Marilah kita mengisi visi tersebut dengan
segenap kemampuan kita. Jika Brasil bisa, kenapa kita tidak?
2. Pesawat N-250
Prototipe pesawat N250 sendiri pernah terbang menuju Le Bourget Perancis untuk mengikuti Paris Air Show. Penampilan perdana pesawat N250
tersebut menggetarkan lawan-lawannya, karena merupakan pesawat yang
menggunakan teknologi fly by wire yang pertama dikelasnya. Pada saat
tersebut (dan juga sekarang) pesawat sekelas adalah ATR 42 yang
merupakan produksi pabrik pesawat Prancis ATR, Fokker F50, produksi
pabrik pesawat Fokker Belanda dan Dash 8, produksi pabrik pesawat De
Havilland (sekarang Bombardier) dari Kanada.
Pesawat
N250 murni merupakan rancang bangun anak bangsa. Setelah melewati
fase-fase yang panjang sejak didirikannya tahun 1976, PTDI awalnya
membuat pesawat dan helikopter dengan lisensi dari perusahaan pesawat
lainnya. Pesawat C212 merupakan pesawat lisensi dari Casa Spanyol yang
juga di buat di PTDI, kemudian pengembangan dari pesawat tersebut adalah
NC212. Tahapan berikutnya adalah memproduksi pesawat komersial yang
lebih besar yang rancang bangunnya kerjasama dengan Casa Spanyol yaitu
pesawat CN-235 (bermesin 2 dan berpenumpang 35). Pesawat CN235 diberi
nama Tetuko, tokoh dalam pewayangan.
N-250
adalah pesawat regional komuter turboprop rancangan asli IPTN atau PT.
DI sekarang. Menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa
desain, produksi dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau bahkan
Nurtanio, yang merupakan pendiri dan perintis industri penerbangan di
Indonesia. Pesawat ini diberi nama gatotkoco (Gatotkaca).
Dan
tahapan berikutnya adalah pesawat terbang N250 Gatot Koco yang murni
merupakan rancang bangun dari PTDI. Pesawat N250 dirancang mempunyai
kapasitas penumpang 50 orang. Kapasitas penumpang berkisar 50 memang
diprediksi akan menguasai pangsa pasar pesawat komersial. Diprediksi
waktu itu, kebutuhan pasar atas pesawat komersial antara 2000 – 2020
sekitar 8000 pesawat, dan diperkirakan 45% adalah pesawat sekelas N250.
Pesawat
ini merupakan primadona IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70
penumpang dengan keunggulan yang dimiliki di kelasnya (saat diluncurkan
pada tahun 1995). Menjadi bintang pameran pada saat Indonesian Air Show
1996 di Cengkareng. Namun akhirnya pesawat ini dihentikan produksinya
setelah krisis ekonomi 1997. Rencananya program N-250 akan dibangun
kembali oleh B.J. Habibie setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan perubahan di Indonesia yang dianggap
demokratis. Namun untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan daya
saing harga di pasar internasional, beberapa performa yang dimilikinya
dikurangi seperti penurunan kapasitas mesin,dan direncanakan
dihilangkannya Sistem fly-by wire.
3. Pesawat CN-235
CN-235
adalah pesawat angkut jarak sedang dengan dua mesin turbo-prop. Pesawat
ini dikembangkan bersama antara CASA di Spanyol and IPTN (sekarang PT
Dirgantara Indonesia) sebagai pesawat terbang regional dan angkut
militer. Versi militer CN-235 termasuk patroli maritim, surveillance dan
angkut pasukan. CN-235 adalah sebuah pesawat angkut turboprop kelas
menengah bermesin dua. Pesawat ini dirancang bersama antara IPTN
Indonesia dan CASA Spanyol. Pesawat CN-235, saat ini menjadi pesawat
paling sukses pemasarannya dikelasnya.
Desain & Pengembangan
CN-235
diluncurkan sebagai kerja sama antara CASA dan IPTN. Kedua perusahaan
ini membentuk perusahaan Airtech company untuk menjalankan program
pembuatan CN-235. Desain dan produksi dibagi rata antara kedua
perusahaan. Kerja sama hanya dilakukan pada versi 10 dan 100/110.
Versi-versi berikutnya dikembangankan secara terpisah oleh masing-masing
perusahaan.
Desain
awal CN-235 dimulai pada Januari 1980, purnarupa pesawat terbang
perdana pada 11 November 1983. Sertifikasi Spanyol dan Indonesia didapat
pada tanggal 20 Juni 1986. Pesawat produksi terbang pertama pada 19
August 1986. FAA type approval didapat pada tanggal 3 Desemebr 1986
sebelum akhirnya terbang pertama untuk pembeli pesawat pada tanggal 1
Maret 1988. Pada tahun 1995, CASA meluncurkan CN-235 yang diperpanjang,
yaitu C-295
Versi Militernya Digunakan di Banyak Negara
Ternyata, versi militer CN 235 banyak diminati dan diekspor ke negara lain, yaitu :
- Afrika Selatan: Angkatan Udara Afrika Selatan (1)
- Amerika Serikat: Penjaga Pantai Amerika Serikat (8 HC-144)
- Arab Emirat: Angkatan Laut Persatuan Emirat Arab
- Arab Saudi: Angkatan Udara Arab Saudi
- Botswana: Angkatan Udara Botswana
- Brunei: Angkatan Udara Brunei (1)
- Chile: Angkatan Darat Chile (4 CN-235-100) satu jatuh di Antartika
- Ekuador: Angkatan Udara Ekuador
- Gabon: Angkatan Udara Gabon
- Indonesia: Angkatan Udara Indonesia (mengoperasikan CN235-100M, CN235-220M, CN235MPA)
- Irlandia: Korp Udara Irlandia (2 CN235MP)
- Kolumbia: Angkatan Udara Kolumbia
- Korea Selatan: Angkatan Udara Korea Selatan (20)
- Malaysia: Angkatan Udara Malaysia (8 CN235-220)
- Maroko: Angkatan Udara Maroko (7)
- Pakistan: Angkatan Udara Pakistan (4 CN235-220)
- Panama: Angkatan Udara Panama
- Papua New Guinea: Angkatan Udara Papua New Guinea
- Perancis: Angkatan Udara Perancis (19 CN235-100, 18 ditingkatkan menjadi CN235-200).
- Spanyol: Angkatan Udara Spanyol (20)
- Turki: Angkatan Udara Turki (50 CN235-100M); Angkatan Laut Turki (6 CN-235 ASW/ASuW MPA); Penjaga Pantai Turki (3 CN-235 MPA)
- Yordania: Angkatan Udara Yordania (2)
Disegani ?
Rupanya
Australia, Singapura dan Malaysia sudah lama tahu kehebatan para
insinyur Indonesia. Buktinya? Mereka sekarang sedang mencermati
pengembangan lebih jauh dari CN 235 MPA (Maritime Patrol Aircraft) atau
versi Militer.
Kalau
para ekonom Indonesia antek-antek World Bank dan IMF menyebut pesawat
buatan PT. DI ini terlalu mahal dan menyedot investasi terlalu banyak
dan hanya jadi mainannya BJ Habibie lalu mengapa Korea Selatan dan Turki
mengaguminya setengah mati.
Turki
dan Korsel adalah pemakai setia CN 235 MPA terutama versi militer
sebagai yang terbaik di kelasnya di dunia. Inovasi 40 insinyur-insinyur
Indonesia pada CN 235 MPA ini adalah penambahan persenjataan lengkap
seperti rudal dan teknologi radar yang dapat mendeteksi dan melumpuhkan
kapal selam. Jadi kalau mengawal Ambalat cukup ditambah satu saja CN235
versi militer (disamping armada TNI AL dan pasukan Marinir yang ada)
untuk mengusir kapal selam dan kapal perang Malaysia lainnya.
4. Pesawat N-219
N-219
adalah pesawat generasi baru, yang dirancang oleh Dirgantara Indonesia
dengan multi sejati multi misi dan tujuan di daerah-daerah terpencil.
N-219 menggabungkan teknologi sistem pesawat yang paling modern dan
canggih dengan mencoba dan terbukti semua logam konstruksi pesawat
terbang. N-219 memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu
fleksibel efisiensi sistem yang akan digunakan dalam misi multi
transportasi penumpang dan kargo. N-219 akan melakukan uji terbang di
laboratorium uji terowongan angin pada bulan Maret 2010 nanti. Pesawat
N219 baru akan bisa diserahkan kepada kostumer pertamanya untuk
diterbangkan sekira tiga tahun atau empat tahun lagi. N-219 merupakan
pengembangan dari NC-212.
Spesifikasi :
- Multi Purpose, dapat dikonfigurasi ulang
- 19 Penumpang, tiga sejajar
- Campuran kargo penumpang
- Kinerja STOL
- Biaya operasional rendah
Saat
ini, penerbangan perintis di beberapa wilayah Nusantara seperti Papua
masih menggunakan pesawat-pesawat produksi lama, seperti Twin Otter.
Beberapa unit yang ada telah tidak layak pakai sehingga diperlukan
pesawat yang lebih modern.
Karenanya,
sejak tahun 2006, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) mengembangkan pesawat
N219 berkapasitas 19 orang untuk menggantikan peran pesawat perintis
yang ada sekarang. Saat ini, uji aerodinamika pesawat tersebut telah
dituntaskan.
Agar
tidak mengalami kegagalan seperti pesawat CN 250, pihak PT DI akan
memproduksi pesawat berdasarkan order. "Kedepannya akan buat 25 unit
dulu dan mengupayakan seluruhnya terjual dahulu.
Pembuatan
sejumlah unit memerlukan dana sekitar Rp 1 triliun. Jumlah ini menurut
Andi cukup minim untuk membuat pesawat. Ia menargetkan, sejumlah pesawat
akan dibeli oleh pemerintah daerah.
Andi
juga mengatakan, spesifikasi pesawat N219 dirancang sesuai dengan
kondisi geografis Indonesia. Pesawat ini mampu mendarat di landasan yang
pendek sehingga bisa diaplikasikan di wilayah terpencil dengan lahan
terbatas.
"Pesawat
ini juga dirancang bisa membawa bahan bakar tambahan. Kita menyadari
bahwa tidak setiap daerah memiliki tempat pengisian bahan bakar," hal
ini merupakan kelebihan pesawat N219.
Pengembangan
pesawat ini didasarkan pada karakteristik geografis Indonesia. "Kondisi
geografis kita berbeda dengan negara lain yang harus punya solusi
sendiri".
Pengembangan
pesawat kecil ini diharapkan mampu menjangkau wilayah terpencil sangat
pas. "Banyak wilayah Indonesia yang tak mudah dijangkau dengan
transportasi darat. Pesawat perintis bisa menjadi solusi ".
Pesawat
N219 memiliki potensi besar untuk dipasarkan ke daerah-daerah seperti
Sumatera dan Papua. Pesawat ini juga ditargetkan bisa dipasarkan ke
negara lain yang masih membutuhkan, misalnya negara-negara di Afrika.
5. Pesawat NC-212
NC-212
Aviocar adalah sebuah pesawat berukuran sedang bermesin turboprop yang
dirancang dan diproduksi di Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer.
Pesawat jenis ini juga telah diproduksi di Indonesia di bawah lisensi
oleh PT. Dirgantara Indonesia. Bahkan pada bulan Januari 2008, EADS CASA
memutuskan untuk memindahkan seluruh fasilitas produksi C-212 ke PT.
Dirgantara Indonesia di Bandung. PT. Dirgantara Indonesia adalah
satu-satunya perusahaan pesawat yang mempunyai lisensi untuk membuat
pesawat jenis ini di luar pabrik pembuat utamanya.
Pesawat
Casa NC 212-200 yang digunakan dalam operasional hujan buatan
dilengkapi dengan Weather Radar (Radar Cuaca) dan Global Positioning
System (GPS). Radar Cuaca diperlukan untuk mengidentifikasi sifat
internal dan dinamika awan yang akan disemai, sehingga sangat membantu
untuk menentukan awan mana yang akan dijadikan sebagai sasaran
penyemaian sekaligus sebagai panduan safety penerbangan untuk pesawat
menghindari zona berbahaya di sekitar awan. GPS diperlukan untuk merekam
dan mencatat posisi dan track pesawat, sehingga memberi penjelasan
tempat dilakukannya eksekusi penyemaian awan.
6. Pesawat Tempur T-50 Golden Eagle
Anda
pasti berfikir, dengan semua kapasitas dan teknologi yang dimiliki
Indonesia, kenapa sampai sekarang Indonesia belum membuat Jet tempur ?
PT
Dirgantara Indonesia (PTDI) akhirnya siap berkerja sama dengan Korea
Selatan mengerjakan proyek pengembangan model pesawat tempur senilai
US$8 miliar yang ditawarkan pemerintah negara tersebut kepada Indonesia.
Kalau
memproduksi sendiri (pesawat tempur) belum bisa, tetapi kalau bergabung
dengan Korea Selatan bisa terlaksana. PT DI memiliki pengalaman dalam
bidang kualifikasi dan sertifikasi dalam memproduksi pesawat-pesawat
yang berkecepatan rendah seperti CN-235. Sementara itu, Korea Selatan
berpengalaman dalam memproduksi pesawat berkecepatan tinggi atau
melebihi kecepatan suara (1 mach) T-50 Golden Eagle.
T-50
Golden Eagle adalah pesawat latih supersonik buatan Amerika-Korea.
Dikembangkan oleh Korean Aerospace Industries dengan bantuan Lockheed
Martin. Program ini juga melahirkan A-50, atau T-50 LIFT, sebagai varian
serang ringan.
Walaupun
militer Amerika Serikat tidak ada rencana untuk membeli pesawat ini,
tapi penamaan militer amerika secara resmi diminta untuk pesawat ini
guna menghindari konflik penamaan dikemudian hari.
Program
T/A-50 dimaksudkan sebagai pengganti dari berbagai pesawat latih dan
serang ringan. Ini termasuk T-38 dan F-5B untuk pelatihan dan Cessna
A-37BClose Air Support; yang dioperasikan AU Republik Korea. Program ini
pada awalnya dimaksudkan untuk mengembangkan pesawat latih secara
mandiri yang mampu mencapai kecepatan supersonik untuk melatih dan
mempersiapkan pilot bagi pesawat KF-16 (F-16 versi Korea). T-50 mmembuat
Korea Selatan menjadi negara ke-12 yang mampu memproduksi sebuah
pesawat tempur jet yang utuh. Beberapa produk korea lainnya adalah KT-1
produk Samsung Aerospace (sekarang bagian dari KAI), dan produk lisensi
KF-16. Sebagian besar sistem utama dan teknologinya disediakan oleh
Lockheed Martin, secara umum bisa disebut T/A-50 mempunyai konfigurasi
yang mirip dengan KF-16.
Pengembangan
pasawat ini 13% dibiayai oleh Lockheed Martin, 17% oleh Korea Aerospace
Industries, dan 70% oleh pemerintah Korea Selatan. KAI dan Lockheed
Martin saat ini melakukan program kerjasama untuk memasarkan T-50 untuk
pasar internasional.
Program
induknya, dengan nama kode KTX-2, dimulai pada 1992, tapi Departemen
Keuangan dan Ekonomi menunda program KTX-2 pada 1995 karena alasan
finansial. With the initial design of the aircraft, in 1999. It was
renamed T-50 Golden Eagle in February 2000, with the final assembly of
the first T-50 taking place between 15 January, 2001. Penerbangan
pertama T-50 terjadi pada Agustus 2002, dan pengujian tugas operasional
pertama mulai Juli 28 sampai 14 Agustus, 2003. Angkatan Udara Korsel
menandatangani kontrak produksi untuk 25 T-50 pada Desember 2003, dan
pengiriman dijadwalkan pada 2005 sampai 2009.
Varian
lain dari T-50 Golden Eagle termasuk pesawat serang ringan A-50, dan
pesawat yang lebih canggih FA-50. The A-50 variant is an armed version
of the T-50 as a stable platform for both free-fall and precision-guided
weapons. FA-50 is an A-50 modified with an AESA radar and a tactical
datalink which are not yet specified. As part of the A-37 retirement-out
program to be completed by 2015, sixty A-50's will be in service for
the South Korean air force by 2011.
7. Pesawat Tempur KFX
(Korea Fighter Experimental)
Pesawat
jet tempur KFX sendiri sebetulnya merupakan proyek lama Republic of
Korea Air Force (ROKAF) yang baru bisa terlaksana sekarang. Proyek ini
digagas presiden Korea Kim Dae Jung pada bulan Maret 2001 untuk
menggantikan pesawat-pesawat yang lebih tua seperti F-4D/E Phantom II
dan F-5E/F Tiger. Dibandingkan F-16, KFX diproyeksi untuk memiliki
radius serang lebih tinggi 50 persen, sistim avionic yang lebih baik
serta kemampuan anti radar (stealth).
Pemerintah
Korea akan menanggung 60 persen biaya pengembangan pesawat, sejumlah
industri dirgantara negara itu di antaranya Korean Aerospace Industry
menanggung 20 persennya .pemerintah Indonesia 20 persen dan akan
memperoleh 50 pesawat yang mempunyai kemampuan tempur melebih F-16 ini
dan 100 pesawat untuk korea. Total biaya pengembangan selama 10 tahun
untuk membuat prototype pesawat itu diperkirakan menghabiskan dana 6
miliar US Dollar.Pemerintah Indonesia akan menyiapkan dana US$1,2
miliar.
penandatanganan
nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia-Korsel itu sudah dilakukan pada
15 Juli 2010 yang lalu di Seoul-Korea Selatan. Diharapkan pada tahun
2020 Sudah Ada Regenerasi Pesawat Tempur untuk kedua pihak
Spesifikasi KFX sebagai berikut :
Crew : 1
Thrust : about 52,000lbs (F414 class x 2)
Max Speed : about Mach 1.8
Armament :
- M61 Vulcan
- AIM-9X class short-range AAM(AIM-9X class) (indigenous, under development)
- AIM-120 class beyond visual range AAM (not specified yet)
- 500lbs SDB class guided bomb|KGGB (indigenous)
- JCM class guided short range AGM (indigenous, under development)
- SSM-760K Haeseong ASM (indigenous)
- Boramae ALCM (indigenous, under development), or Taurus class ALCM
- Supersonic ALCM (based on Yakhont technology) (indigenous, under development)
Mengapa PT DI tidak membuat sendiri ?
Membuat
pesawat tempur jauh lebih kompleks daripada membuat pesawat penumpang
karena ada tambahan sistem dalam sebuah pesawat tempur yaitu sistem
kontrol senjata pada sistem avioniknya, disamping sistem mesin
pendorong, sistem radar, dan struktur pesawat yang harus dirancang lebih
kuat namun tetap lincah bermanuver di udara.
Pesawat
tempur KFX ini dirancang untuk masuk dalam kelompok pesawat tempur
generasi 4,5 yang berarti harus mempunyai 6 kemampuan yaitu :
- Kemampuan
pesawat tempur untuk melakukan manuver ekstrim agar mendapat posisi
serang paling menguntungkan (Air Combat Manuverability).
- Pesawat tempur harus bisa terbang lincah sehingga harus menggunakan teknologi fly by wire untuk kontrol penerbangannya.
- Penggunaan
teknologi trust vectoring nozzles yang mampu mengubah-ubah arah
semburan gas buang mesin jet agar pesawat tempur mempunyai kemampuan
terbang dalam kecepatan rendah dan mampu melakukan belokan tajam.
- Kemampuan untuk terbang jelajah pada kecepatan supersonik dalam waktu yang lama.
- Radar pesawat tempur berkemampuan menjejak target diluar batas cakrawala atau beyond visual range
- Kemampuan menyerap dan membiaskan pancaran radar atau teknologi stealth
Jadi
bisa dibayangkan seandainya PT. Dirgantara Indonesia dilibatkan dalam
pembuatan pesawat tempur ini maka akan ada penguasaan teknologi
kedirgantaraan baru paling tidak untuk pembuatan 50 pesawat tempur KFX
yang akan dibeli Pemerintah Indonesia nantinya dari keikutsertaannya
membiayai proyek ini. Penguasaan teknologi baru di bidang pembuatan
pesawat tempur generasi 4,5 ini dapat menjadi modal dasar bagi PT.
Dirgantara Indonesia untuk membuat pesawat tempur sendiri kelak
dikemudian hari.
Jadi
untuk teknologi PT DI memang belum mampu untuk membuat secara mandiri.
Selain ini butuh modal besar untuk melakukan riset sendiri namun jika
besama korea maka teknologi kita akan dapatkan dengan sendirinya dan
kelak dapat dikembangkan lagi untuk membuat pesawat tempur ciptaan
sendiri